Nusa Tenggara Barat yang dikenal
sebagai salah satu sentra sapi potong di Indonesia yang merupakan pemasok
ternak sapi untuk wilayah lainnya seperti Jawa dan Kalimantan. Saat ini iklim
usaha ternak sapi mulai kembali menunjukkan gairah, karena harga ternak sapi
sudah mulai membaik sejak pemerintah membatasi impor ternak sapi dan daging
sapi. Impor yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional
justru telah memberikan dampak negatif terhadap usaha sapi nasional. Pemerintah
semestinya selalu mempertimbangkan bahwa ternak sapi juga merupakan sumber
pendapatan penting bagi peternak dan petani lainnya.
Kontribusi Provinsi NTB dalam
pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional, dengan rata-rata pengeluaran sapi potong
sejumlah 16.500 ekor per tahun ke berbagai wilayah di Indonesia.
Berdasarkan poptensi tersebut maka dalam program percepatan pencapaian
swasembada daging sapi (P2SDS), NTB ditetapkan sebagai salah satu provinsi
sumber sapi potong dan sapi bibit di antara 18 provinsi lainnya di
Indonesia. Sebagai bentuk tekad dan komitmennya melalui program “NTB Bumi
Sejuta Sapi” pemerintah provinsi NTB merencakan pembangunan peternakan
sapi yang tangguh.
Meningkatnya jumlah penduduk dan
adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan
konsumsi daging sapi secara nasional cenderung meningkat. Selama ini kebutuhan
daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu: ternak sapi dan
daging sapi lokal, sapi impor, dan daging impor (Hadi dan Ilham, 2000 disitasi
oleh Kariyasa 2005).
Potensi Sapi dan Produktivitas
Usaha Ternak Sapi di NTB
Populasi ternak sapi di NTB
menunjukkan peningkatan selama periode 2006-2010 sebesar 8,4% per tahun,
populasi saat ini 683 ribu ekor (Statistik Peternakan, 2010). Hasil
analisis trendmenunjukkan bahwa terjadi laju peningkatan populasi sapi
potong sebesar 1,32% per tahun sebagian besar populasinya adalah sapi Bali
(1,32%), sedangkan sapi persilangan dan Hissar bervariasi antara
0,57-1,2% (Priyanti, 2011).
Bangsa sapi potong di NTB
cukup beragam baik breed lokal seperti sapi Bali dan sapi
Hissar; maupun breed eksotik seperti : Simental, Brangus, Limousin
dan persilangan di antaranya. Provinsi dengan dua pulau besar yaitu pulau
Lombok dan pulau Sumbawa masing-masing memiliki komposisi populasi
masing-masing sekitar 48 persen dan 52 persen dari total populasi.
Beragam sistem pemeliharaan yang dilakukan ekstensif (digembalakan dan
dilepas), semi intensif dan intensif (dikandangkan). Tentu sistem pemeliharaan
yang berbeda memiliki potensi berproduksi yang berbeda tergantung pada
manajemen pemeliharaan dan ketersediaan pakan. Ini terkait dengan efisiensi
yang bisa dilakukan baik efisiensi terhadap penggunaan input produksi (pakan,
tenaga kerja, obat-obatan) serta efisiensi terhadap biaya produksi (biaya yang
dikeluarkan untuk input-input tersebut)
Proporsi bangsa sapi yang
mendominasi adalah sapi Bali, dengan beberapa keunggulan komparatif yang
dimiliki, ini terkait dengan potensi produktivitas, reproduksi dan daya
adaptasi untuk setiap wilayah di NTB. Daya adaptasi yang baik memudahkan
penanganan pada ternak, dengan kondisi lingkungan dan pakan yang tersedia
ternak mampu memberikan performan yang stabil pada tingkat produktivitasnya
(pertumbuhan dan pekembangan), serta tingkat kesuburannya. Ini merupakan
pertimbangan penting bagi peternak untuk menentukan pilihannya pada bangsa
ternak yang akan dipeliharanya (diusahakan).
Peran Ternak Sapi Sebagai Sumber
Pendapatan
Peternakan sapi merupakan
sumberdaya lokal masyarakat NTB yang tumbuh dan berkembang membudaya dan
terbukti memberikan sumbangan besar terhadap kesejahteraaan masyarakat pedesaan
jika dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya. Populasi sapi lebih besar
dari ruminansia besar lainnya seperti kerbau artinya sapi lebih dominan
dipelihara dan diusahakan oleh masyarakat. Penyerapan tenaga kerja relatif
besar, melibatkan 0,33 orang per ekor atau 181.856 orang secara keseluruhan
(2008). Pendapatan yang diperoleh dari memelihara seekor sapi tidak hanya
pada produksi daging atau anak sapi, tetapi masih ada yang lainnya seperti
pemanfaatan tenaganya untuk membajak dan limbah kotorannya yang dapat
dimanfaatkan untuk pupuk organik.
Ternak Sapi NTB Dalam Perdagangan
Nasional
Potensi pasar di luar daerah
cukup besar, permintaan sapi potong mencapai 50.000 ekor per tahun. Ini
merupakan peluang besar bagi perdagangan sapi potong nasional, dan NTB sebagai
daerah produsen sapi harus berlomba untuk bersaing dengan provinsi lain
(produsen sapi) agar secara berkelanjutan dapat menjadi pemasok sapi
nasional. Pengembangan peternakan sapi tidak cukup hanya dengan
meningkatkan populasi dengan upaya-upaya pemerintah memberikan bantuan ternak
atau modal usaha. Penerapan teknologi sudah harus dimulai agar diperoleh efisiensi
produksi dan efisiensi biaya produksi. Tidak menutup kemungkinan dimasa
mendatang permintaan akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang mendorong adanya perubahan
pola konsumsi pangan.
Usaha suatu komoditi pertanian
umumnya berujung pada sistem perdagangan, demikian pula yang dihadapi oleh
peternakan sapi terutama usaha usaha ternak rakyat. Sirkulasi perdagangan sapi
dimulai dari sistem perdagangan lokal kemudian sampai pada sistem perdagangan
nasional bahkan internasional. Petani atau peternak sebagai produsen akan
selalu memasuki sistem tersebut dan menerima pengaruh dari situasi perdagangan
nasional dan internasional. Untuk memproduksi seekor sapi peternak harus
membeli bibit sapi atau sapi bakalan di pasar lokal. Harga yang diterima
merupakan harga yang berlaku pada saat itu, dengan tingkat harga sesuai
mekanisme pasar setempat dan pengaruh harga dari luar yaitu harga nasional
bahkan harga sapi internasional, dan ketika mereka akan menjual produksinya
(sapi siap potong atau anak sapi), kembali harus berhadapan pada hal yang sama.
Situasi perdagangan nasional dan
internasional memberikan pengaruh yang kuat pada sistem usaha peternakan sapi
di daerah. Pengalaman kita ketika kebutuhan daging sapi meningkat dan
belum bisa dipenuhi oleh produk domestik (sapi-sapi dari daerah sentra
produksi), maka kebijakan pemerintah saat itu melakukan impor sapi dan daging
sapi, dampaknya sangat besar pada peternakan sapi nasional. Harga sapi di
ibukota dan kota-kota besar lainnya turun, sehingga mempengaruhi harga sapi di
daerah-daerah produsen sapi.
Sebagai konsekuensi globalisasi
ekonomi dunia perdagangan dunia (internasional) bukan lagi merupakan bagian
kecil dari ekonomi nasional suatu negara tetapi sebaliknya justru ekonomi
nasional merupakan bagian kecil dari ekonomi internasional. Leberalisasi
perdagangan secara konseptual telah memberikan tekanan khususnya kepada negara
berkembang untuk melakukan serangkaian informasi kebijakan yang semula
protektif menjadi lebih market friendly (Oktaviani dkk., 2010).
Komoditi ternak sapi sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, akan mengalami
perubahan-perubahan sejalan dengan perubahan kondisi sosial masyarakat.
Ketika tingkat pendidikan, pengetahuan dan pendapatan masyarakat menjadi lebih
baik, perubahan pola konsumsi pangan akan terjadi. Masyarakat akan
memilih pangan yang lebih baik kualitasnya, dan pangan yang berkualitas salah
satunya bersumber pada produk peternakan. Permintaan akan daging, susu
dan telur akan meningkat, namun ketika produksi peternakan dalam negeri tidak
mampu memenuhi kebutuhan maka tidak menutup kemungkinan terjadi impor.
Maka di sinilah perubahan-perubahan akan terjadi sebagai dampak impor, seperti
depresiasi harga. Sesuai dengan prinsip terjadinya perdagangan
internasional yaitu impor akan terjadi jika harga komoditi di luar negeri lebih
rendah.
Bagaimana dengan usaha ternak nasional maupun
usaha-usaha ternak di daerah? Dampaknya telah dirasakan beberapa waktu silam,
harga sapi di NTB turun, peternak tidak dapat berharap mendapatkan keuntungan
dari hasil penjualan sapinya. Jika saja pemerintah tidak segera
mengurangi dan membatasi impor maka harga sapi tidak akan bisa kembali pada
titik harga normal.
Jika kita perhatikan trend harga
sapi 5 tahun terakhir, yaitu lonjakan harga sapi terjadi pada tahun 2008 –
2009, pada saat tingginya permintaan daging nasional dengan harga yang
meningkat. Namun yang terjadi antara tahun 2009 – 2011 harga sapi
cenderung stagnan. Semestinya ada kenaikan harga yang mengikuti trendnya.
Sejak tahun 2009 telah terjadi impor sapi dan daging sapi yang cukup
besar untuk pemenuhan kebutuhan nasional, sehingga permintaan sapi asal daerah
menurun karena tingkat harga daging sapi nasional saat itu turun,
sehingga sapi-sapi asal NTB hanya dipasarkan di daerah sendiri.
Dapat di lihat pada grafik di bawah ini untuk masing-masing trend
Kita bisa lihat pada gambar
grafik berikutnya (Gambar 3.) bahwa tingkat kebutuhan daging sapi nasional
terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2008 justru penyediaan
menurun sehingga peluang itu menyebabkan masuknya impor sapi dan daging
sapi. Penyediaan daging dalam negeri cenderung tidak mengalami peningkatan,
bahkan terjadi penurunan drastis pada tahun 2008. Tetapi hal ini tidak
mesti disebabkan oleh menurunnya produktivitas ternak sapi nasional.
Kondisi ini bisa terjadi karena adanya impor sehingga harga daging nasional
turun yang mengakibatkan lesunya perdagangan sapi nasional. Peternak,
pedagang dan pengusaha sapi antar pulau kurang bergairah dalam bisnis
ini. Namun pada kenyataannya jika keadaan seperti ini dibiarkan maka
impor akan terus meningkat dan peternakan sapi nasional akan makin terpuruk.
Tentu pembangunan perekonomian menjadi tidak berarti, karena akan menyebabkan
menurunnya pendapatan petani-peternak atau bahkan menyebabkan pengangguran di
sektor peternakan.
Impor memang tidak bisa
dihentikan sama sekali, tetapi sebaiknya ada pembatasan. Penyediaan
kebutuhan daging masyarakat tetap stabil dengan harga yang stabil pula, impor
bisa berdampak turunnya harga komoditi yang menguntungkan konsumen tetapi
merugikan produsen sapi. Tidak ada impor tentu dampaknya adalah permintaan
meningkat (tidak terpenuhi) maka harga komoditi akan meningkat bisa berdampak
pada kesejahteraan konsumen tetapi yang memperoleh keuntungan adalah
produsen. Maka harapan kita semua tentunya adanya kesetaraan (keadilan)
yang bisa diberikan pemerintah kepada seluruh lapisan masyarakat.
Keadaan ini sebaiknya menjadi
pelajaran bagi kita semua, pembangunan perekonomian harus menyeluruh.
Dengan mayoritas penduduk yang memiliki usaha dibidang pertanian harus
mendapatkan perlindungan dari kebijakan yang mengatur, demikian pula dengan
masyarakat lainnya sebagai konsumen pangan (produk-produk pertanian).
Gairah usaha di bidang pertanian akan baik jika sistem pemasarannya berjalan
dengan baik dan dapat memberikan keuntungan pada berbagai pihak. Tidak cukup
hanya dengan upaya peningkatan produksi dan produktivitas, karena komoditi
pertanian pada umumnya sangat rentan terhadap kuantitas produksi yang dapat
menyebabkan perubahan harga (fluktuasi harga). Ingat bahwa ketika produk
melimpah dan permintaan tetap maka harga akan turun. Bagaimana upaya agar
distribusi produksi merata dari waktu ke waktu sehingga dapat terjaga
kestabilan harga. Teknologi dibutuhkan tidak hanya saat suatu komoditas
diproduksi, tetapi penanganan pasca panen, sampai pada pemasarannya masih ada
teknologi yang mengawalnya. Efisiensi harus sudah mulai menjadi
pertimbangan penting mengingat persaingan produk-produk pertanian dalam era
globalisasi perdagangan dunia akan mengancam di masa mendatang.